oleh

Kota Palu dan Pesan Sang Kholik

Catatan Zacky Antony

SUASANA temaram ketika azan Magrib berkumandang di teluk Kota Palu. Cahaya matahari makin redup. Tanda sang surya sedang menuju peristirahatannya setelah seharian menyinari bumi tanpa pamrih. Pemandangan matahari terbenam yang memancarkan warna keemasan kian mengagumkan mata yang memandang.

Saharia (62), warga RT 02 RW 05 Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah, menatap semua keindahan ciptaan sang kholik tersebut. Tak jauh dari situ, hotel mercure tiga lantai berdiri megah.

Jauh di lubuk hatinya, ibu empat anak ini bersyukur dengan segala anugerah yang Maha Kuasa. Kesederhanaan adalah bagian dari kebahagiaan Saharia yang tak terkira.

Hidupnya jauh dari kemewahan dunia. Di tengah hari yang makin gelap itu, dia menghirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkahkan kaki kembali ke rumah mengiringi suara Azan.

“Saya baru saja melepaskan jilbab untuk mengambil wudhu. Saya suruh anak saya yang masih SMP untuk mengambil wudhu juga agar sholat magrib berjemaah,” ujar Saharia mengenang peristiwa empat tahun lalu sambil menyajikan saya segelas kopi.

Hari itu, Senin (28/11) saya sengaja datang ke Kawasan Lere, salah satu perkampungan yang terkena dampak paling parah saat gempa dan tsunami menghantam Palu empat tahun lalu. Tujuan awal saya datang ke sana awalnya ingin melihat Masjid Apung yang menjadi ikon kota palu.

Masjid yang terletak di tepi pantai Teluk Palu itu terkenal bukan hanya di Sulteng, tapi juga di luar Sulteng.

Beberapa detik kemudian terdengar suara gemuruh. Saharia dan anaknya, Muhammad Yazid Rivaldi (16), merasakan bumi bergoyang. Brakkkk. Terdengar suara tembok depan rumah roboh. Dinding rumah bergemeratak. “Keluar….keluar…. cepat keluar nak. Saya langsung suruh anak saya keluar rumah,” lanjut Saharia melanjutkan cerita.

Dalam tempo beberapa detik semua rumah di Kawasan itu roboh. Saharia dan anaknya mencari perlindungan. Beruntung keduanya cepat menyelamatkan diri. Sebab, sekitar 15 menit setelah itu gelombang air laut menuju daratan. Menghantam semua yang ada.

Seketika semua menjadi panik. Teriakan histeris di mana-mana. Kawasan Lere khususnya berubah seperti neraka air. “Ini bulu kuduk saya merinding kalo ingat itu,” ujarnya.

Malam itu, kesepian dan kengerian menemani warga Kota Palu. Semua masih samar-samar di tengah kegelapan. Tapi mata tua Saharia bisa menatap bangunan-bangunan roboh.

Semua rumah warga di Kawasan Lere rata dengan tanah. Termasuk rumah Saharia tinggal puing-puing. “Di belakang sini dulu rumah semua,” ujarnya sambil menunjuk ke arah tanah kosong yang memanjang di tepi pantai Teluk Palu.

Bangunan hotel mercure yang megah tadi ikut kena dihantam tsunami dan sekarang belum dimanfaatkan lagi karena struktur bangunan sudah tidak layak.

Saat ini, Saharia bersama suami dan anaknya masih tinggal di camp pengungsian. Sebenarnya pemerintah sudah membangun ribuan unit rumah untuk korban gempa dan tsunami Palu, tapi belum semuanya terakomodir.

Saharia salah satu yang belum menerima bantuan rumah tersebut. “Saya masih di pengungsian,” ujar Saharia yang berjualan gorengan dan kopi untuk biaya hidup sehari-hari.

Kuasa Sang Kholik

Hidup dan kehidupan adalah cerita tentang tangis dan tawa. Bahagia dan derita pada dasarnya sama. Kaya dan miskin cuma soal amanah. Hakikatnya semua titipan. Sebab Sang kholik tidak melihat rupa. Sang pencipta hanya melihat taqwa. Dia hanya melihat ketundukan total hamba-Nya. Tunduk kepada zat yang menciptakan dari tiada menjadi ada.

Dalam ketaqwaan itulah, Saharia dan anaknya mengaku berpasrah diri. “Anakku berdoa ya Allah kalau memang kau akan menjemputku. Aku ikhlas. Anakku yang masih SMP doanya seperti itu,” kenangnya.

Dalam kepasrahan total itu, Saharia melihat semua peristiwa yang justru tidak pernah diberitakan di media. Mayat-mayat yang ditemukan di Kawasan Lere semua dalam keadaan telanjang. Semua pakaian di tubuh terlucuti oleh terpaan tsunami. “Tapi itu tidak pernah diberitakan. Semua telanjang. Kenapa begitu, hanya Tuhan yang tahu,” tambahnya.

Yang lebih mengerikan lagi, banyak warga tertelan tanah yang terbelah. Motor yang sedang dipakai ikut terkubur. “Setelah itu, tanah menutup kembali. Saya jadi merinding kalau ingat itu,” Saharia melanjutkan ceritanya.

Menurutnya, korban-korban yang yang dinyatakan hilang diyakini telah tertelan bumi. Jadi bukan hanya rumah-rumah yang tertelan bumi seperti terjadi di Kabupaten Sigi. Fenomena itu disebut likuifaksi. Rumah-rumah roboh dan amblas ke dalam tanah. Proses geologi jauh lebih mengerikan ketimbang cerita-cerita yang ada di media.

Saharia adalah orang yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana manusia-manusia ditelan oleh tanah yang terbelah atau ambles.

1.309 Orang Hilang

Gempa 7,4 SR yang melanda Kota Palu pada 28 September 2018 merupakan salah satu musibah terbesar di tanah air, setelah gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.

Tercatat, gempa Palu mengakibatkan lebih dari 2.113 orang meninggal dunia. Di Kota Palu saja korban tewas sebanyak 1.703 orang. Di Donggala 171 orang dan di Sigi 223 orang. Belum ditambah daerah-daerah lain. Sedangkan korban luka-luka mencapai 4.612 orang.

Yang bikin bulu kuduk bergidik, jumlah orang hilang mencapai 1.309 orang. Mereka yang hilang inilah yang dimaksud Saharia “tertelan” bumi. Artinya, ada ribuan orang terkubur di bawah Kota Palu.

“Kalau bapak tanya itu, saya menjadi sedih. Keluarga saya banyak menjadi korban,” kenang Manto (33), warga Tanjung Taruruka, Kecamatan Palu Selatan yang menemani saya ke masjid Apung.
“Yang saya ingat, air laut ketika itu sudah melewati baliho di atas jalan,” kata Manto mengenang kedahsyatan tsunami saat itu.

Dalam sejarahnya Kota Palu awalnya adalah lautan. Karena terjadi gempa dan pergeseran lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan, terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi kota palu. Asal usul kota palu sendiri berasal dari kata Topalu’e yang artinya tanah yang terangkat.

Kota Palu adalah kota dengan keislaman yang kental. Di berbagai sudut kota umbul-umbul, spanduk, bendera dan baliho KAHMI begitu mendominasi. Maklum, Kota Palu menjadi tuan rumah Munas KAHMI yang baru saja berakhir.

Sebaran agama di kota ini, Islam sebanyak 80,05 persen, Kristen 15,16 persen (dominan Protestan), Hindu 2,4 persen dan Buddha 2,37 persen. Kota berpenduduk 373.218 jiwa ini sangat tenang dan damai. Tidak ada kemacetan. Beberapa hari berada di kota ini saya tidak pernah menemukan kemacetan. Kotanya persis berada di teluk palu. Bagian belakang kota dikelilingi bukit yang memanjang mengitari kota melingkar membentuk huruf U mengikuti bentuk teluk Palu.

Kota Palu bukan yang paling padat penduduk. Dari total penduduk Sulawesi Tengah sebanyak 2,9 juta jiwa, kabupaten terpadat adalah Parigi Moutong dengan 440.015, baru disusul Kota Palu.

Peristiwa gempa dan tsunami Palu memang sudah lama berlalu. Tapi pesan-pesan moralnya terasa relevan sepanjang zaman. Muaranya tentang ketundukan dan kepasrahan total kepada Sang Kholik.

Palu, 28 November 2022

(Penulis adalah wartawan senior dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed